Rabu, 01 September 2010

TRAGEDI TANJUNG PRIUK

MENGENANG KASUS TANJUNG PERIOK

Saturday, March 15th, 2008

Periok_01
Sersan Satu (purnawirawan) Hermanu –kini almarhum– pernah dituding sebagai “tentara Kristen yang memasuki Mushalla tanpa membuka sepatu”, sekitar 21 tahun lalu pada kasus Tanjung Priok yang terjadi 12 September 1984.

Kenyataannya, Hermanu beragama Islam sejak lahir. Meskipun Hermanu katakanlah tergolong penganut Islam yang pengetahuannya lebih sering berada di bawah garis minimal –begitu juga dengan keaktifannya dalam melaksanakan ibadah pokok seperti shalat– namun siapa yang berhak mengatakan Hermanu bukan Islam?

Dengan kualitas keislaman yang apa adanya, Hermanu tetaplah Islam. Bagi Hermanu ketika itu, ketika ia membaca pamflet yang mengumumkan acara pengajian remaja di dinding mushalla, dan imbauan agar setiap wanita Muslim mengenakan jilbab –padahal sikap “tak tertulis” pemerintah ketika itu adalah mencurigai jilbab dan aktivitas keagamaan (Islam)– maka yang pertama muncul dari dalam dirinya bukanlah keberpihakan kepada agamanya (Islam), tetapi keberpihakan kepada sikap “tak tertulis” pemerintah dan ABRI kala itu.

Maka bisa dimengerti, bila Hermanu kemudian berinisiatif melumuri seruan itu dengan air comberan –atau katakanlah dengan siraman air yang mengalir dari tempat wudhu.

Bisa dimengerti pula bila Hermanu tegopoh-gopoh memasuki Mushalla tanpa membuka sepatu –atau katakanlah sudah membuka sepatu dan hanya mengenakan kaus kaki– untuk memberikan peringatan kepada pengurus dan jamaah Mushalla tentang keberadaan pamflet yang bertentangan dengan sikap “tak tertulis” pemerintah dan ABRI. Karena, Hermanu adalah prajurit saptamargais yang setia.
Periok_02

Maka bisa dimengerti pula, bila Hermanu kemudian mengacung-acungkan pistolnya ketika ia masih melihat sejumlah pamflet masih juga menempel di dinding mushalla. Sebab, Hermanu meski beragama Islam sejak lahir, ia tidak mempunyai keberpihakan yang memadai terhadap agamanya. Tentu saja Hermanu sebagai babinsa merasa lebih punya power dibanding Ahmad Sahi, meskipun Ahmad Sahi adalah “tuan rumah” (pengurus Mushalla) yang pekarangannya dimasuki Hermanu.

Hermanu tentu lebih mudah mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari institusi ABRI ketimbang “institusi” Islam. Ia tentu lebih merasakan bahwa ABRI adalah bagian dari dirinya, bagian dari jiwanya, bagian dari kesehariannya. Sedangkan Islam, bagi Hermanu mungkin sekedar sebuah status yang ditegaskannya kembali ketika ia dan keluarganya –misalnya– shalat Idul Fitri atau pulang kampung pada masa Lebaran.

Jadi, meski Hermanu beragama Islam sejak lahir, boleh jadi ia tetap merasa asing dan bahkan merasa jauh dari Islam. Kalau saja kondisi keislaman Hermanu yang cuma sebegitu itu dipahami oleh tokoh dan warga Tanjung Priok, mungkin tragedi berdarah pada 12 September 1984 tidak akan pernah terjadi.

Dari sudut pandang HAM (Hak Asasi Manusia), tindakan Hermanu jelas tidak bisa dibenarkan. Sebagai babinsa yang merupakan representasi dari umaro, ia tidaklah berhak mengatur gairah keberislaman sekelompok orang di Tanjung Priok. Undangan pengajian remaja dan imbauan berjilbab yang dipamfletkan sekelompok remaja, meski katakanlah bertentangan dengan sikap “tak tertulis” pemerintah dan ABRI, tidak seharusnya disikapi dengan cara-cara yang tidak etis, memancing emosi, dan tidak mengindahkan kebebasaan berekspresi.

Namun, Hermanu hanyalah jebolan kelas dua SMP, dan merupakan elemen terbawah dari sebuah sistem yang kurang sehat. Sehingga, kita tidak bisa mengharapkan Hermanu bersikap dewasa dan cerdas, tidak kasar, tidak vulgar, dan tidak provokatif.

Sayangnya sikap negatif Hermanu (yang dianggap representasi dari keseluruhan sistem yang berlaku saat itu), ternyata mendapat respon yang sama negatifnya dari tokoh Tanjung Priok (yang hingga kini dianggap representasi dari komunitas Islam Indonesia), padahal rata-rata tingkat pendidikan mereka lebih tinggi dari Hermanu, begitu juga dengan pengetahuan (ilmu) agama Islam mereka.

Beberapa hari setelah Hermanu melakukan aksi pencopotan pamflet, 10 September 1984, ketika ia sedang berhenti di sebuah warung rokok bersama Sersan Satu Rahmat, di ujung gang IV dekat Mushalla Assa’adah, ia berpapasan dengan dua orang anak muda –yang setelah mengenali Hermanu sebagai tentara “kafir” yang memasuki mushalla tanpa melepas sepatu– kemudian menggelandangnya ke Pos RW terdekat.

Di situ, Hermanu disuruh meminta maaf atas tuduhan memasuki Mushalla tanpa membuka sepatu serta mencopoti pamflet dengan air comberan. Ketika itu Hermanu menolak tuduhan. Ada juga yang bilang, ketika Hermanu diminta mengucapkan “Allah” yang terdengar di telinga masyarakat kala itu adalah ucapan “Allah” yang tidak faseh, sehingga ia dicurigai bukan penganut Islam.

Apalagi, yang terjadi kemudian, bukanlah dialog yang sehat dan bijaksana. Bahkan di luar forum dialog tadi, massa menunjukkan keberingasannya, ada yang berteriak-teriak memaki Hermanu yang diposisikan sebagai representasi dari umaro yang dianggap arogan dan pekak. Apalagi kemudian sepeda motor Honda GL-125 yang biasa ditunggangi Hermanu dibakar sejumlah orang.

Dari sinilah musibah berdarah itu kemudian berawal. Penangkapan beberapa warga yang diduga membakar sepeda motor Hermanu, kemudian dilanjutkan dengan aksi pembebasan yang gagal. Kegagalan ini sayangnya tidak disikapi dengan arif dan cerdas, tetapi dengan emosional dan gegabah (tanpa perhitungan). Apalagi kemudian para tokoh masyarakat setempat justru membakar massa dengan materi ceramah yang mempertentangkan antara ideologi kafir dengan ideologi yang bukan kafir.

Ketika massa sudah kian terbakar dan mengulangi tuntutan pembebasan kawan-kawannya, tidak ada satu pun tokoh ummat Tanjung Priok yang mendinginkan hati yang panas. Amir Biki memberi ultimatum, jika sampai pukul 11 malam pada 12 september itu, tuntutan mereka tidak dipenuhi, maka Tanjung Priok akan banjir darah, cina-cina akan digorok. Apa salah dan dosa orang-orang cina pada kasus salah tangkap ini, sehingga mereka justru hendak dijadikan korban? Padahal, tidak ada korelasi antara orang-orang cina dengan tidak dibebaskannya empat tokoh Priok.

Bahkan ketika itu terlihat sejumlah orang dalam balutan pangsi hitam dengan clurit di tangan, seperti hendak pergi berperang. Nampaknya memang sudah ada niatan dan rencana untuk perang. Bentrokan berdarah pun terjadi. Parahnya, yang menjadi korban bukan hanya massa yang sudah terbakar, tetapi juga sejumlah orang yang tak tahu apa-apa, yang malam itu kebetulan melintas di daerah tersebut (dengan berbagai keperluan, termasuk sejumlah massa yang baru pulang menonton film di sebuah bioskop), dan harus menerima berondongan peluru: ada yang tewas, ada yang luka ringan dan luka parah.

Kalau saja setelah tuntutan pembebasan yang gagal itu para tokoh Priok bersikap arif dan cerdas, serta tidak frontal dan gegabah, maka boleh jadi mereka akan menempuh cara-cara yang persuasif dan kreatif, sehingga tidak menimbulkan korban begitu banyak. Sebab, biar bagaimana pun, kekuatan bersenjata yang terorganisir (ABRI) jauh lebih kuat dari sekedar massa yang banyak dan emosional, apalagi hanya menenteng clurit.

Apalagi, bila sejak awal, para tokoh Priok kala itu, tidak memposisikan Hermanu sebagai “tentara (beragama) Kristen yang masuk tanpa membuka sepatu”, tetapi sebagai tentara (beragama) Islam yang seharusnya dikasihani dan disayangi karena minimnya pengetahun serta ghirah ke-islamannya. Kemudian, alangkah bijaksananya bila Hermanu dijadikan sasaran dakwah, sehingga ia yang semula hanya Islam KTP itu, perlahan-lahan mempunyai ghirah dan keberpihakan yang seimbang kepada agamanya (Islam). Dengan memposisikan Hermanu sebagai “musuh” justru membuat keberislamannya yang tipis-tipis saja menjadi kian tipis, bahkan hilang tak berbekas.

Nampaknya, baik Hermanu dan tokoh Priok kala itu sama-sama berasal dari komunitas yang terlanjur kurang sehat, kurang arif, kurang cerdas dan kurang santun. Benturan kedua sifat negatif tadi, memberikan akibat yang sangat dahsyat. Kesimpulannya, Hermanu dan mereka yang tewas atau luka-luka, adalah korban dari strategi dakwah yang keliru, tidak sabar dan tidak cerdas.Kronologi Peristiwa Tanjung Priok

Versi Abdul Qadir Djaelani
Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.

Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang.

Ahad, 9 September 1984
Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin.

Senin, 10 September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima.

Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.

Selasa, 11 September 1984
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.

Rabu, 12 September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.

Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.

Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.

Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.

Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya, sampai bersih.

Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).

Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.

Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.

Sumber: Buku Tanjung Priok Berdarah, Tanggungjawab Siapa: Kumpulan Fakta dan Data, Yogyakarta: Gema Insani Press.

Versi Resmi Pemerintah Orde Baru
Versi resmi peristiwa Tanjung Priok dikeluarkan sekitar sepuluh jam setelah peristiwa ini terjadi. Keterangan resmi pemerintah Orde Baru dikemukakan oleh Pangab/Pangkopkamtib L.B. Moerdani didampingi oleh Menteri Penerangan Harmoko, Pangdam V/Jaya Try Soetrisno, dan Kapolda Metro Jaya Drs. Soedjoko. Keterangan resmi peristiwa Tanjung priok diterima publik diuraikan oleh Pangab sebagai berikut.

Di sekitar Masjid Rawabadak terpasang pamflet dan poster yang menghasut bersifat SARA. Karena imbauan petugas agar pamflet-pamflet dan poster-poster itu dihapus atau dicabut tidak dihiraukan, seorang petugas, pada hari jumat tanggal 7 September 1984, menutup tulisan-tulisan yang bersifat menghasut itu dengan warna hitam.

Pada hari senin, 10 September 1984, seorang petugas yang sedang menjalankan tugasnya di daerah Koja, dihadang dan kemudian dikeroyok oleh sekelompok orang. Petugas keamanan berhasil menyelamatkan diri, tetapi sepeda motornya dibakar oleh para penghadang. Aparat keamanan pun menangkap empat orang pelakunya untuk keperluan pengusutan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Pada hari Rabu, 12 September 1984, pukul 19.30 WIB, di Masjid Rawabadak berlangsung ceramah agama tanpa izin dan bersifat menghasut. Penceramahnya antara lain Amir Biki (tewas tertembak), Syarifin Maloko (tertangkap setelah semua sidang perkara Tanjung Priok selesai), M. Nasir (bukan M. Natsir mantan Perdana Menteri dan ketua DDII), tidak pernah diketahui keberadaannya setelah peristiwa malam itu. Pukul 22.00 WIB aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki yang berisi ancaman pembunuhan dan perusakan apabila keempat tahanan tidak dibebaskan. Sekitar pukul 23.00 WIB ancaman telepon diulang lagi.

Setelah itu, sekitar 1.500 orang menuju Polres dan Kodim. Lima belas orang petugas keamanan menghambat kerumunan atau gerakan massa tersebut. Regu keamanan berusaha membubarkan massa dengan secara persuasif, namun dijawab dengan teriakan-teriakan yang membangkitkan emosi dan keberingasan massa. Massa terus maju mendesak satuan keamanan sambil mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan celurit.

Dalam jarak yang sudah membahayakan, regu keamanan mulai memberikan tembakan peringatan dan tidak dihiraukan. Tembakan diarahkan ke tanah dan kaki penyerang, korban pun tidak dapat dihindari. Setelah datang pasukan keamanan lainnya, barulah massa mundur, tetapi mereka membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan apotek.

Sekitar tiga puluh menit kemudian gerombolan menyerang kembali petugas keamanan, sehingga petugas keamanan dalam kondisi kritis dan terpaksa melakukan penembakan-penembakan untuk mencegah usaha perusuh merebut senjata dan serangan-serangan dengan celurit dan senjata tajam lainnya.

Hari Kamis, 13 September 1984, pukul 00.00 WIB, pasukan keamanan Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) Jaya berhasil mengendalikan situasi, menguasai keadaan, dan membubarkan massa. Menurut Pangab dalam versi ini, 9 orang meninggal dan 53 luka-luka.

Sumber: Buku Tanjung Priok Berdarah, Tanggungjawab Siapa: Kumpulan Fakta dan Data, Yogyakarta: Gema Insani Press.

Versi Intern Aparat Pemerintahan Orde Baru
Versi kedua ini diungkapkan oleh Pangab/Pangkopkamtib dalam penjelasan kepada lurah wilayah Jakarta Utara. Penjelasan Pangab/Pangkopkamtib sebagai berikut.

Jumat, 7 September, di sekitar Masjid Rawabadak banyak tertempel pengumuman tentang ceramah oleh mubalig-mubalig yang terkenal ekstrem, keras, bukan mubalig ayam sayur. Salah seorang petugas Koramil setempat, yang merasa terhina karena peringatan-peringatannya pada panitia untuk tidak mengundang penceramah seperti itu –mubalig keras– selalu diabaikan, menyiram salah satu pengumuman dengan air selokan.

Senin, 10 September 1984, petugas yang menyiram pengumuman dengan air selokan itu lewat di depan sekelompok pemuda yang sedang berada di Pasar Koja. Mereka segera menghadangnya dan mencoba mengeroyok petugas tersebut. Pada saat itu ada dua warga yang mencoba menyelamatkan petugas itu. Setelah itu para pengeroyok mencoba melampiaskan kemarahan mereka dengan membakar sepeda motor dinas yang digunakan petugas itu. Selanjutnya, sesuai prosedur hukum yang berlaku, Polres Jakarta Utara terpaksa menahan dua orang penyelamat itu dan dua orang lagi yang diduga sebagai pelaku pengeroyokan untuk dimintai keterangan. Penahanan sementara diperlukan oleh aparat keamanan guna penelitian dan pengusutan lebih lanjut serta guna penuntutan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Rabu, 12 September 1984, sekitar pukul 19.30 WIB, di Masjid Rawabadak berlangsung ceramah agama oleh Amir Biki, Syarifin Maloko, S.H., dan M. Nasir. Para penceramah melontarkan ucapan-ucapan anti-Pancasila, anti asas tunggal, memecah persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengganggu stabilitas nasional. Di akhir ceramahnya. Amir Biki yang dikenal masyarakat setempat sebagai tokoh agama dan tokoh masyarakat yang berpengaruh, mengajak pendengar agar ramai-ramai mendatangi polres Jakarta Utara untuk menuntut agar empat orang, yang sebenarnya hanya ditahan sementara guna dimintai keterangan, dibebaskan saat itu juga. Sekitar pukul 23.00 WIB peserta ceramah beramai-ramai mendatangi Polres Jakarta Utara, dipimpin Amir Biki yang membawa bendera hijau. Karena gerakan ini sudah tercium sebelumnya, pengamanan Polres Jakarta Utara diperkuat pasukan Laksusda Jaya. Sesampainya massa di depan Polres, terjadi perundingan antara Amir Biki dan Komandan Laksusda Jaya dan Danres (Kapolres) Jakarta Utara.

Sementara itu, para pengikut Amir Biki mulai berteriak-teriak mencaci petugas keamanan. Mereka memaksa agar empat orang temannya dibebaskan saat itu juga. Akhirnya, karena massa terus mendesak maju dan karena sakit hati dicaci maki terus menerus, petugas keamanan sebagai biasanya manusia, hilang kesabarannya. Maka tanpa dapat dicegah, sebagian petugas keamanan membidikkan senjata mereka ke arah massa. Terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan. Sekitar 40 orang tewas tertembak saat itu juga, termasuk Amir Biki, serta puluhan lainnya mengalami luka-luka. Selanjutnya, para peserta ceramah sambil meneriakkan “Allahu Akbar” mengamuk dan membakar toko-toko milik orang Tionghoa hingga jatuh korban orang-orang Tionghoa yang mencapai 100 orang lebih.

Kamis,13 September 1984, pukul 00.00 WIB, aparat keamanan Laksusda Jaya berhasil mengendalikan situasi, menguasai keadaan, dan membubarkan massa.
Sumber: Buku Tanjung Priok Berdarah, Tanggungjawab Siapa: Kumpulan Fakta dan Data, Yogyakarta: Gema Insani Press.

Persidangan Kasus Tanjung Priok

Soeharto, Presiden RI 1966-1998 :
“Peristiwa Tanjung Periok adalah hasil hasutan sejumlah pemimpin di sana. Melaksanakan keyakinan dan syari’at agama tentu saja boleh. Tetapi kenyataannya ia mengacau dan menghasut rakyat untuk memberontak, menuntut dikeluarkannya orang yang di tahan. Terhadap yang melanggar hukum, ya, tentunya harus diambil tindakan”. (Buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, 1989)

TANJUNG PRIOK, sebuah daerah di Jakarta tempat kapal-kapal berlabuh, termasuk sa-lah satu daerah miskin dan kumuh. Daerah ini menjadi tempat orang-orang desa dan pulau-pulau yang berdekatan guna mencari penghidupan, supaya mereka dapat hidup di kota Jakar-ta. Tempat ini penuh sesak oleh penduduk. Berdasarkan sensus kependudukan, Tanjung Priok merupakan dae-rah paling padat, di mana setiap meter persegi dihuni oleh sembilan orang. Apakah sensus ini benar atau salah, yang pasti daerah ini dipadati oleh penduduk yang aktivitasnya non stop dua puluh empat jam. Warung-warung dan barbar buka setiap malam.

Dalam salah satu persidangan kasus Tanjung Priok, salah seorang pembela menerangkan bahwa daerah ini dikitari jalan-jalan sempit serta ratusan gubuk-gubuk yang saling berhimpitan. Dan mayoritas penduduknya tinggal di bangunan-bangunan sederhana yang terbuat dari bahan-bahan bekas pakai.
Koja, sebuah lokasi di mana peristiwa Tanjung Priok terjadi, merupakan daerah hunian kaum buruh gala-ngan kapal, buruh-buruh pabrik, bangunan dan buruh-buruh harian yang dikenal dengan “pekerja serabutan”. Kerja perbaikan kapal merupakan kerja pokok di tempat ini. Tanjung Priok sangat terpengaruh oleh gejolak ekonomi dan mudah sekali tersulut berbagai issu. Pendu-duknya yang sangat padat, perputaran barang-barang keluar masuk yang dikirim ke tempat-tempat lain di pulau Jawa demikian banyak. Selain itu, tempat yang sangat miskin ini berdampingan pula dengan rumah-rumah mewah yang dijaga oleh anjing-anjing galak. Padahal daerah ini dihuni oleh berbagai golongan penduduk yang berbeda-beda kulturnya, seperti Banten, Jawa Barat, Madura, Bugis, Sulawesi. Dan semua daerah yang telah disebutkan, sangat dipengaruhi oleh kultur Islam.

Di daerah semacam Tanjung Priok, masjid merupakan barometer kehidupan, tempat berkumpulnya orang-orang tua dan anak-anak serta tempat melepas lelah dari kepenatan kerja di jalan-jalan dan lorong-lorong. Segala keruwetan masalah menjadi pusat pembicaraan dan omongan diantara para jama’ah masjid.

Pada pertengahan 1984, beredar issu tentang RUU organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan asas tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Di antara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat seorang muballigh terkenal, menyampaikan ceramah pada para jama’ah-nya dengan menjadikan masalah tersebut sebagai topik pembahasan, sebab rancangan undang-undang tersebut telah lama menjadi masalah yang kontroversial.

Pada suatu hari, 7 September 1984, seorang Babinsa datang ke mushalla kecil bernama “Mushalla As-Sa’adah” dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisikan tulisan mengenai problem yang dihadapi kaum muslimin, dan disertai pengumuman tentang jadual pengajian yang akan datang. Tidak heran jika kemudian orang-orang yang hadir disitu menjadi marah melihat tingkah laku Babinsa itu. Pada hari berikutnya Babinsa tadi kembali lagi bersama seorang prajurit untuk mengecek, apakah perintahnya telah dilaksanakan atau belum. Setelah kedatangan kedua ini muncullah issu yang menyatakan bahwa, militer telah menginjak-injak kehormatan tempat suci, karena masuk ke mushalla tanpa melepas sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di mushalla dengan air comberan.

Pada tanggal 10 September 1984, Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman, dua orang takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdampingan dengan mushalla As-Sa’adah, berusaha menenangkan suasana dan mengajak kedua tentara itu masuk ke sekretariat Takmir masjid guna membicarakan masalah yang sedang hangat. Ketika mereka berbicara di dalam kantor, massa di luar telah berkumpul. Kedua pengurus Takmir masjid ini menyarankan kepada kedua perajurit tadi supaya persoa-lannya disudahi dan dianggap selesai saja, tetapi mereka menolak saran tersebut. Para jama’ah yang berada di luar mulai kehilangan kesabaran, lalu tiba-tiba saja salah seorang dari kerumunan massa menarik sepeda motor salah seorang perajurit yang ternyata seorang marinir, kemudian dibakar. Maka pada hari itu juga, Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, pimpinan mushalla As-Sa’adah dan seorang lain lagi yang ketika itu berada di tempat kejadian. Selanjutnya, Muham-mad Nur, salah seorang yang ikut membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan ke empat orang tersebut kemarahan massa menjadi kian tak terbendung, yang kemudian memunculkan tuntutan agar mem-bebaskan mereka-mereka yang ditangkap itu.

Pada hari berikutnya, para tetangga mushalla yang masih menyim-pan kemarahan datang kepada salah seorang tokoh daerah itu, bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal memiliki hubungan baik dengan beberapa perwira di Jakarta. Maksudnya, supaya dia ikut turun tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah seringkali, Amir Biki turun tangan menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer. Akan tetapi kali ini usahanya ternyata tidak berhasil.

Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang muballigh menyam-paikan ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial, diantaranya adalah kasus yang baru saja terjadi. Di hadapan massa, Amir Biki berbicara dengan keras yang isinya menyam-paikan ultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pk. 23.00 WIB malam itu. Jika tidak, mereka akan mengerahkan massa mengadakan demonstrasi.

Di saat ceramah telah usai, berkumpullah sekitar 1500 orang demons-tran bergerak menuju kantor Polsek dan Koramil setempat. Sebelum massa tiba di tempat yang dituju, sekonyong-konyong mereka telah dikepung dari dua arah oleh pasukan bersenjata berat. Massa demonstran berha-dapan face to face dengan tentara yang sudah siaga tempur. Pada saat sebagian pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Lalu terdengar suara tembakan, kemudian diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong bedilnya kepada kerumunan massa demonstran. Dari segenap penjuru berdentuman suara bedil, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah. Di saat sebagian korban berusaha bangkit dan lari menyelamatkan diri, pada saat yang sama mereka diberondong lagi atau dicabik-cabik dengan bazoka, sehingga dalam beberapa detik saja jalanan dipenuhi jasad manusia yang telah mati dan bersimbah darah. Sedangkan beberapa korban luka yang tidak begitu parah beru-saha lari dan berlindung ke tempat-tempat di sekitarnya.

Sembari tentara-tentara mengusung korban yang telah mati dan luka-luka ke dalam truk-truk militer, tembakan terus berlangsung tanpa henti. Semua korban dibawa ke RS militer di tengah kota Jakarta. Sedangkan RS lain diultimatum untuk tidak menerima pasien korban penembakan Tanjung Priok. Setelah seluruh korban diangkut, datanglah mobil-mobil pemadam kebakaran untuk membersihkan jalan dari genangan darah korban. Satu jam setelah pembantaian besar-besaran ini terjadi, Pangab Jenderal Beny Murdani datang mengininspeksi tempat kejadian, dan untuk selanjutnya, sebagaimana diberitakan oleh berbagai sumber, daerah tersebut dijadikan daerah operasi militer.

Peristiwa Tanjung Priok sangat mengerikan. Hampir setiap keluarga kehilangan salah seorang anggota keluarganya pada aksi pembantaian ini. Korban pembantaian diperkirakan ratusan orang, sehingga dalam waktu singkat kasus ini menjadi sangat terkenal dan disebut-sebut dalam penerbitan resmi. Sebagian dari massa demonstran yang selamat dari aksi pembantaian mengerikan itu, memperkirakan jumlah korban yang meninggal sekitar 600 orang. Tetapi pihak pemerintah menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan bahwa “menurut penelitian, adanya korban pembantaian sebanyak itu sesuatu yang mustahil”. Para korban pembantaian ini dikubur di pemakaman umum tanpa sepenge-tahuan keluarga mereka.

Bab 02-01 Pemerintah Menyembunyikan Fakta
Sehari setelah pembantaian manusia muslim ini, Pangab Jenderal Beny Murdani dan Pangdam Jaya Try Sutrisno mengumumkan, bahwa korban yang terbunuh hanya 9 orang dan yang luka-luka berjumlah 35 orang. Sedangkan tentara dari berbagai macam kesatuan yang menjaga markas polisi ketika peristiwa terjadi tidak lebih dari 15 orang saja. Mereka dipaksa melepaskan tembakan karena tidak ada alternatif lain, dan sudah sesuai prosedur. Kejadian ini adalah akibat dari agitasi selebaran-selebaran dan pamflet yang tendensius, yang membakar emosi keagamaan massa.

Menurut versi Beny Murdani, kronologi peristiwa Tanjung priok adalah sebagai berikut: “Mula-mula petugas keamanan berusaha mene-nangkan emosi massa dengan cara-cara yang persuasif, tetapi dibalas dengan teriakan “Tidak setuju”. Teriakan-teriakan massa ini semakin menjadi-jadi, sambil mereka maju mendekati petugas keamanan dan memepet mereka. Ketika mereka merasa terancam bahaya barulah petugas keamanan melepaskan tembakan peringatan ke udara. Oleh karena massa tidak juga mengindahkan peringatan tersebut, barulah tembakan diarahkan ke kaki, sehingga sulit dihindari jatuhnya korban. Massa ternyata tidak mau bubar sehingga didatangkan pasukan tam-bahan. Setengah jam kemudian massa mengamuk menyerang petugas untuk kedua kalinya. Menyaksikan situasi genting, petugas terpaksa melepaskan tembakan untuk mencegah massa merebut senjata, melaku-kan penyerangan dan pengeroyokan terhadap petugas”.

Masyarakat di daerah ini sejak semula tidak mempercayai keterangan Beny Murdani, karena banyak diantaranya yang mengalami penderitaan dan orang tahu, bahwa persoalan ini sangat kontroversial. Banyak selebaran dan pamflet yang beredar di masyarakat tetapi tidak ada yang berani menuliskan identitasnya pada pamflet tersebut. Selebaran-selebaran ini diperbanyak lagi di kota-kota lain sehingga ada yang sampai ke luar negeri, tapi anehnya tidak satupun koran-koran dalam negeri yang memuatnya. Sudah barang tentu, ada juga berita-berita sederhana yang diekspos berdasarkan keterangan resmi yang diberikan Beny Murdani.

Mereka yang menjadi korban kasus ini diisolasi oleh tentara, dan hanya seorang saja yang jenazahnya dikembalikan kepada keluarganya, yaitu jenazah Amir Biki, korban pertama pembantaian. Jenazah Amir Biki dikembalikan kepada keluarganya untuk dimakamkan lantaran bantuan dari Wagub DKI Jakarta, Mayjend. Edi Nalapraya, teman dekat Amir Biki dan orang yang tadinya dimintai tolong untuk membebaskan para tahanan. Amir Biki dan Nalapraya telah berhubungan sejawat sejak tahun 1965, ketika Amir Biki membantu militer menghadapi PKI. Sedangkan Nalapraya adalah mantan intelejen di bawah pimpinan Beny Murdani. Ketika ia memperoleh pangkat jenderal, dia ditunjuk menjabat wagub DKI Jaya yang wilayah kekuasaannya meliputi daerah Tanjung Priok. Pengangkatan ini tidak umum bagi seorang jenderal, tetapi karena Nalapraya orang yang berdarah Betawi, dan punya pengetahuan men-dalam tentang kehidupan masyarakat Tanjung Priok, maka dia dianggap orang yang tepat menduduki jabatan wakil gubernur. Dia juga mantan wakil Pangdam Jaya. Selebaran-selebaran dari Jakarta menyebutkan bahwa sebelum meletusnya kasus Tanjung Priok, Nalapraya sebenarnya sudah menginformasikan kepada Amir Biki, bahwa pemerintah menda-pat tekanan kuat untuk meninjau kembali RUU orsospol yang kontro-versial itu, dan mungkin sekali tekanan ini membawa hasil.

Seingat kami, masih ada tiga korban lagi yang dikuburkan dengan sepengetahuan keluarga mereka, tapi siapa nama mereka itu masih misteri. Sedangkan korban-korban lainnya dikuburkan oleh pihak militer tanpa sepengetahuan keluarga mereka. Adapun korban yang luka-luka yang dibawa ke RS militer diobati secara tidak semestinya. Ada sebagian korban yang selama berbulan-bulan opname di RS militer ini tanpa mendapat perawatan sama sekali; bahkan peluru yang masih bersarang ditubuhnya pun tidak dikeluarkan, sehingga selama mereka tinggal di RS dapat dikatakan sebagai pasien yang disandera. Hal ini berlangsung berbulan-bulan lamanya sebelum keluarga mereka mengetahui tempat penampungannya.

Segera setelah berita malapetaka ini tersebar di Jakarta, pada tanggal 17 September, lima hari setelah kejadian, 22 orang anggota petisi 50 menerbitkan Lembaran Putih yang berisi tantangan terhadap keterangan Beny Murdani, dengan memuat data-data yang lebih akurat yang disam-paikan oleh para saksi mata. Petisi 50 menuntut supaya segera diadakan penyelidikan oleh tim independen atas kejadian ini. Sekalipun lembaran putih ini tersiar dengan cepat, namun koran-koran Indonesia tidak satu pun yang mengeksposnya. Bahkan tidak satupun yang berani memuat keterangan para saksi yang menyampaikan kesaksiannya dalam persi-dangan kasus ini.

Sebagaimana disebutkan dalam pamflet, bahwa orang yang berbicara di dalam pengajian yang kemudian menimbulkan demonstrasi itu ada empat orang. Pertama, Amir Biki yang disebut sebagai pimpinan demons-tran dan orang yang pertama kali melepaskan tembakan. Kedua, Salim Qadar ditangkap pada 2 Oktober 1984, untuk selanjutnya diajukan ke pengadilan. Setahun kemudian, Nopember 1985, dia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Sedangkan dua orang terdakwa lainnya (Syarifin Maloko dan Mohammad Nasir), bersembunyi lebih dari 1,5 tahun. Pada 11 April 1985 kantor berita AFP menyiarkan bahwa kedua orang ini telah tertangkap, dan beberapa koran memberitakan keduanya akan segera diajukan ke pengadilan. Tetapi pemerintah tidak menjelaskan, apakah keduanya akan dikenai tahanan atau tidak. Pengadilan telah menolak berbagai macam permohonan untuk melakukan pembelaan bagi terdakwa, sementara kedua orang itu diminta untuk memberikan kesaksiannya. Posisi kedua orang ini menjadi sangat misterius, khususnya menyangkut persidangan kasus Jenderal Darsono, di mana Darsono menyarankan agar kedua orang ini dimintai keterangan mengenai peran mereka dalam kasus Tanjung Priok. Pada tanggal 16 Juni 1986, beberapa bulan setelah berakhirnya persidangan kasus di atas, barulah Syarifin Maloko ditahan disuatu tempat di Jawa Barat. Dia ditangkap oleh salah seorang perwira yang mengenalinya ketika berceramah di sebuah masjid. Dari kejadian ini orang dapat memahami, bahwa sebenarnya dia tidak bersembunyi dan tidak pula melakukan suatu tindakan sehingga patut ditahan. Sebuah majalah mingguan Indonesia menyebutkan, bahwa semasa menjadi pelarian, Syarifin Maloko muncul diberbagai kesempatan memberi ceramah di daerah Merak Jawa barat.

Bab 02-02 Suasana Pengadilan Kasus Subversi
Untuk mengadili terdakwa Kasus Tanjung Priok, telah berlangsung beberapa kali persidangan. Pertama, menyidangkan 4 orang yang ditangkap pada tanggal 10 September. Kedua, persidangan terhadap 28 orang yang dituduh ikut dalam demonstrasi. Mereka ini menjadi korban penembakan. Delapan orang lagi diadili dalam tiga kali persidangan terpisah. Mereka dituduh sebagai orang-orang yang bertanggung jawab melakukan pengrusakan sewaktu terjadinya demonstrasi. Selain persida-ngan tersebut, di Jakarta juga berlangsung peradilan diberbagai tempat terhadap orang yang dituduh melakukan provokasi dan menyebarkan selebaran-selebaran yang berisikan kasus Tanjung Priok, mengkonter keterangan Beny Murdani yang sangat bertentangan dengan fakta sebenarnya.

PERSIDANGAN 4 ORANG TERDAKWA
Persidangan pertama dilakukan terhadap 4 orang terdakwa yang ditahan pada tanggal 10 September, yaitu :
1. Nama : Syarifuddin Rambe.
Umur : 38 tahun,
Pekerjaan : Tukang reparasi jam
Jabatan : Ketua majelis ta’lim.
Keterangan: Aktif di lingkungannya dan mengisi waktu seng-gangnya dengan kerja sosial.
2. Nama : Sofyan Sulaeman.
Umur : 35 tahun.
Pekerjaan : Karyawan pabrik.
Jabatan : Anggota majelis ta’lim.
3. Nama : Ahmad Sahi
Umur : 35 tahun
Pekerjaan : Manajer ekspedisi barang dagangan
Jabatan : Ketua takmir mushalla As-Sa’adah.
4. Nama : Mohammad Nur
Umur : 25 tahun
Pekerjaan : Lulusan SLTA dan pengangguran.

Orang-orang ini diadili dengan maksud untuk menguatkan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Beny Murdani, bahwa sebenarnya tokoh-tokoh masyarakat setempatlah yang mula-mula menimbulkan kekacauan sehingga terjadinya demonstrasi pada tanggal 12 September. Selain itu, juga dimaksudkan sebagai bantahan, bahwa apa yang tertulis pada seleba-ran atau pamflet yang menuduh Babinsa setempat masuk ke tempat suci tanpa melepas sepatu dan menyiraminya dengan air comberan, tidak seluruhnya benar. Issu ini disebarkan dengan sengaja untuk membakar emosi dan membangkitkan kemarahan massa. Dan Rambe serta Sulaeman dituduh menyerang petugas keamanan.
Persidangan-persidangan ini sebenarnya dimaksudkan sebagai upaya mengungkapkan penyebab terjadinya kasus Priok, tapi ternyata dalil-dalil yang digunakan jaksa penuntut umum untuk menyeret para terdakwa ke pengadilan, isinya kacau dan tidak berhubungan satu sama lainnya. Lebih buruk lagi, sikap penasehat hukum yang sama sekali tidak menggunakan haknya dalam membela klien, terutama dalam mengejar keterangan para saksi, apakah sesuai fakta atau tidak.

Persidangan empat orang terdakwa ini selesai hanya dalam dua kali sidang saja. Rambe dan Sulaeman divonis dalam waktu bersamaan. Sedangkan dua orang lainnya divonis sendir-sendiri. Ketiga persidangan ini berlangsung dalam waktu yang sama. Pada hari itu juga masing-masing terdakwa mengajukan banding di ruangan yang sama dan dihadapan majelis hakim yang sama pula. Masing-masing terdakwa kemudian dijadikan saksi untuk kasus temannya yang lain, padahal dalam kasus mereka yang khusus ini mere-ka bisa menolak untuk memberi jawaban atas segala pertanyaan yang dapat memberatkan diri mereka tentang tuduhan-tuduhn yang tidak ada hubungannya dengan kasus mereka. Dalam memberikan kesaksian pada kasus temannya mereka tidak disumpah sebagaimana mestinya sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan majelis penga-dilan kepadanya.

Adapun saksi-saksi rekayasa yang dihadirkan di persidangan semua-nya adalah anggota militer, baik yang masih aktif atau pun pensiunan. Dua saksi utama adalah dua orang anggota militer yang menodai kesucian tempat ibadah. Meskipun tuduhan pokoknya, adalah para tertuduh telah menyebarkan selebaran gelap, namun ternyata bahwa keterangan ang-gota militer dengan jelas mengakui, bahwa pamflet yang menempel di mushalla memang disiram dengan air comberan. Saksi militer ini beralasan: ”Karena pamflet-pamflet itu ditulis dengan pilox yang tidak bisa dihapus, dan tidak ada peralatan ditempat itu untuk dipakai menghapusnya, maka tidak ada cara lain kecuali menyiramnya dengan air comberan”.

Hermanu, seorang yang pertama kali mengetahui adanya pamflet, adalah petugas Babinsa yang telah dua kali berkunjung ke mushalla. Dia mengaku, ”tidak mencopot sepatu dalam kunjungan kedua kalinya ke mushalla. Sebab, katanya, dia hanya masuk di halaman saja”. Ringkas-nya semua rekayasa ini, gagal untuk dijadikan sebagai alasan menyang-gah kebenaran issu-issu yang beredar tentang Tanjung Priok. Selain itu, ada tertuduh yang dinyatakan bersalah karena kejahatannya menyebar-kan issu-issu yang kebenarannya kurang dapat dipertanggungjawabkan, bahkan ada issu yang sama sekali tidak benar.

Bab 02-03 Penolakan terhadap Saksi Pembela
Persekongkolan dan kolusi antara hakim dan jaksa penuntut umum sangat nyata dalam persidangan kasus Tanjung Priok ini. Mereka telah bersepakat untuk menolak keterangan para saksi yang diajukan pena-sehat hukum terdakwa. Dalam persidangan kasus Rambe dan Sulaeman, misalnya, para pembela bermaksud menghadirkan saksi mata yang ikut hadir di mushalla ketika Hermanu dan sejumlah tentara datang ketempat tersebut untuk kedua kalinya. Ketika nama-nama saksi mulai dipanggil, jaksa malah berdiri dan berteriak lantang: “Mereka ini buronan yang sengaja disembunyikan pembela”.

Jaksa penuntut umum dengan gigih menggunakan segala upaya untuk mementahkan serta mendeskreditkan keterangan para saksi, tapi para pembela tetap memaksa mereka untuk mendengarkan. Saksi per-tama bernama Shaleh. Orangnya telah lanjut usia, berumur 65 tahun, pekerjaan tukang batu. Sebelum saksi ini diajukan ke persidangan, para pembela meminta jaminan keamanan bagi keselamatan saksi. Tapi Hakim yang menyidangkan hanya bersedia memberikan jaminan keselamatan selama berada di ruang sidang saja. Sedangkan di luar ruang pengadilan, hakim menolak untuk bertanggungjawab.

Kendati menyadari bahaya yang mengancam keselamatannya, na-mun Pak Shaleh tetap maju pada persidangan berikutnya untuk menyam-paikan kesaksiannya. Setelah diangkat sumpahnya, dia memberikan kesaksian tentang kejadian yang disaksikan sendiri secara langsung. Pak Shaleh sebenarnya akan dimintai konfirmasi untuk mengenali setiap orang dari tentara yang terlibat dalam peristiwa itu. Tetapi yang terjadi dalam persidangan justru sebaliknya, hakim yang menyidangkan malah bertanya kepada para tentara bukan pada Pak Shaleh yang hadir disitu. ”Apakah saudara-saudara kenal dengan saksi ini?”, tanya hakim pada para tentara itu. Ketika mereka menjawab, ”Tidak kenal”, maka hakim dengan cepat memutuskan untuk menolak kesaksian Pak Shaleh dan menyatakan bahwa kesaksiannya tidak diperlukan dan tidak layak dipercaya. Setelah itu saksi diusir dari ruang sidang. Para pembela menga-jukan protes keras, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya di dalam persidangan semacam itu. Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, di tengah jalan Pak Shaleh dihadang oleh dua orang tak dikenal, kemudian membawanya ke markas polisi untuk diintrogasi. Pembela kembali mem-protes keras intimidasi semacam itu. Di persidangan para pembela mengatakan,”Akibat dari tindakan intimidasi semacam itu, para saksi yang semula bersedia menyampaikan kesaksian, akhirnya berubah pikiran”. Perlakuan terhadap saksi Pak Shaleh, pada kenyataannya membuat pembela mustahil dapat menghadirkan saksi lain untuk kepentingan terdakwa.

Kemudian pembela mengajukan tuntutan kepada pengadilan supaya mendengarkan kesaksian para saksi di tempat berlangsungnya kejadian, supaya dapat menyelidiki perkaranya dengan lebih obyektif. Pada awal-nya permintaan ini disetujui oleh hakim, tapi kemudian dicabut kembali.

Menurut berbagai sumber, pencabutan izin persidangan dilokasi kejadian adalah akibat intervensi langsung dari Beny Murdani. Hakim pengadilan kemudian mengumumkan bahwa persidangan khusus di tempat kejadian tidak bisa dilakukan. Alasannya,”Polisi setempat menyatakan, situasi tempat tidak aman”. Pembela menyerang keputusan hakim dengan sengit, dan mengatakan: ”Kesaksian-kesaksian ini akan memberikan kejelasan bahwa sesungguhnya para saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut adalah mustahil mereka menyaksikan kejadian-kejadian itu dari tempat keberadaan mereka”.

Namun Jaksa penuntut umum berpendapat, bahwa Rambe dan Sulaeman telah menggunakan kekuatan dalam menghadapi Hermanu dan anggota militer lainnya untuk memaksa mereka meninggalkan kan-tornya guna mencari selebaran. Akan tetapi kedua orang itu menyanggah-nya.”Apa yang kami lakukan hanyalah usaha penengahan karena beranggapan, bilamana oknum tentara mau minta maaf maka masalah-nya akan selesai”, ujar mereka. Akhirnya Jaksa penuntut tidak mampu lagi mengemukakan alasan bahwa keduanya benar-benar menggunakan kekerasan terhadap oknum tentara itu. Ketika hakim bertanya kepada Hermanu, mengapa tidak mau minta maaf: ”Sikap yang benar bagi seorang militer, yaitu tidak meminta maaf”, jawab Hermanu.

Ketika jaksa penuntut membatalkan tuduhan menyebarkan issu-issu bohong kepada Rambe dan Sulaeman, pada saat itu sebenarnya persi-dangan sudah hampir usai. Namun demikian, kedua orang terdakwa beserta seorang teman pengurus masjid dikenai tuduhan lain, sehingga Rambe dan Sulaeman masing-masing dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara. Sedangkan yang seorang lagi bernama Sahi (takmir masjid) dijatuhi hukuman 22 bulan.

Muhammad Nur dikenai tuduhan merusak sepeda motor milik seorang anggota tentara dan melakukan perlawanan terhadap petugas saat ditangkap, agar dia dapat membantu temannya meloloskan diri dari penangkapan. Padahal di dalam persidangan terbukti bahwa yang melakukan perusakan sepeda motor adalah massa. Sedangkan Nur hanya semata-mata mendorong kendaraan itu dengan tangan. Walau-pun begitu, dia tetap dituduh telah melawan petugas, dan diganjar dengan hukuman 8 bulan penjara.

Bab 02-04 Persidangan 28 Orang Korban Pembantaian
Menjelang selesainya persidangan 4 orang terdakwa seperti telah diurai-kan di atas, pengadilan mulai menyidangkan 28 orang pemuda lainnya. Sebagian besar terdakwa adalah korban pembantaian Tanjung Priok. Ketika terdakwa menyampaikan keterangan tentang pristiwa yang telah dialaminya, sebagian besar dari mereka memperlihatkan dengan jelas, bekas-bekas penganiayaan sewaktu berada dalam perawatan di RS militer. Persidangan ini berlangsung beberapa bulan setelah peristiwa Tanjung Priok.

Sebagian terdakwa benar-benar tersiksa oleh derita akibat penganiaya-an petugas, sehingga untuk datang ke persidangan saja mereka harus dipapah. Para pengunjung sebagian besar merasa iba terhadap korban yang malang itu, sehingga membuat jalannya persidangan seringkali terganggu karena tiba-tiba terdengar teriakan histeris pengunjung. Nam-pak dengan jelas, bahwa ke 28 orang terdakwa hanya dijadikan sample di antara sejumlah besar korban pembantaian.

AM. Fatwa, seorang muballigh dan anggota petisi 50 yang telah disidangkan kasusnya pada akhir tahun 1985, di depan sidang penga-dilan bercerita: ”Saat berada dalam tahan militer di Cimanggis, ditempat tersebut terdapat kurang lebih 200 orang tahanan berkaitan dengan kasus Tanjung Priok. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak muda yang menjadi korban tindakan berutal saat demonstrasi terjadi. Ia menceritakan bahwa keadaan para tahanan tersebut sangat menyedihkan karena diper-lakukan dengan buruk dan minimnya perawatan atas kondisi kesehatan mereka.

Selanjutnya Fatwa bercerita: ”Para tahanan remaja ini tangannya penuh balutan karena luka parah akibat tembakan. Penjaga tahanan tidak membolehkan anak-anak ini mengganti pembalut luka mereka. Pembalut diganti dua hari kemudian setelah luka-luka berubah jadi borok. Tahanan yang mengalami derita semacam ini bernama Lili Ardiansah, dan tahanan lain bernama Maskun yang menderita 39 luka di tubuhnya akibat pemukulan sadis. Luka-luka ini membusuk dan bernanah hingga satu bulan. Karena nasib baik saja, luka tersebut sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan. Tetapi meninggalkan bekas di tubuh mereka untuk selamanya. Tahanan lain bernama Syarifuddin, mengalami kelumpuhan separuh badan akibat tekanan darah tinggi, dan dibiarkan menderita demikian selama dua hari. Sekalipun dokter telah dihubungi melalui telpon pada saat korban jatuh sakit, tetapi dokter baru datang dua hari kemudian”.

Persidangan 28 orang di atas berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Semua tertuduh dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman antara dua hingga tiga tahun. Tuduhan pokok yang didakwakan kepada mereka, yaitu ikut serta melakukan perlawanan terhadap ABRI dengan kekerasan. Mereka dikatakan membawa senjata berupa pisau, pentungan besi, clurit dan jerigen berisi bensin, untuk melakukan pembakaran. Mereka tidak memperdulikan peringatan bahkan melakukan serangan terhadap petu-gas keamanan dengan pentungan dan lemparan batu. Mereka dituduh ikut dalam kegiatan politik untuk melawan pemerintah dan melakukan demonstrasi politik melawan undang-undang anti subversi.

Jaksa penuntut umum kemudian mengajukan saksi-saksi, semuanya terdiri dari oknum tentara dan polisi. Sebagian dari saksi bahkan seorang komandan militer yang melepaskan tembakan terhadap para demons-tran. Kesaksian mereka sedikitpun tidak ada yang keluar dari keterangan yang sudah diumumkan oleh Pangab Beny Murdani berkenaan dengan kasus pembantaian ini. Bahkan seorang saksi perwira menambahkan, ”Ada demonstran yang berusaha merampas senjatanya”. Dua orang saksi lagi ditanya tentang berapa jumlah korban dalam kasus tersebut, jawabnya “Tidak tahu”. Anehnya, tidak seorangpun dari saksi tentara itu yang mengenali terdakwa, sekalipun para terdakwa ini adalah orang-orang yang mereka hadapi dalam demonstrasi itu. Akan tetapi, salah seorang saksi mengakui bahwa delapan orang dari para tertuduh itu pernah dilihatnya berada di RS militer setelah mereka ditangkap.

Sekalipun tuduhan yang dikenakan kepada para terdakwa adalah, ”menyerang petugas keamanan” tapi tidak seorangpun saksi tentara yang hadir di persidangan menunjukkan, bahwa di antara mereka mema-ng ada yang menjadi korban terkena sasaran senjata demonstran. Ada kisah misteri yang diceritakan dari Jaksa penuntut, ”Seorang perwira tertusuk benda tajam, tapi yang bersangkutan tidak bisa hadir di persi-dangan karena menderita luka parah”. Dapat dibayangkan bagaimana perasaan para tertuduh ketika mendengar pernyataan demikian. Mereka membandingkan dengan derita diri sendiri yang tidak mendapatkan perawatan dan mengalami luka bernanah, tetap dihadapkan ke persida-ngan, sedangkan perwira bersangkutan hanya memberikan kesaksian tertulis, dan diterima, walaupun tim pembela menolaknya dengan menga-takan, bahwa hal semacam itu sesuatu yang tidak mungkin.

Jaksa menunjukkan beberapa senjata tajam, sebagai barang bukti yang digunakan pada saat demonstrasi; padahal dia tidak dapat mem-buktikan secara meyakinkan, bahwa senjata-senjata itu diambil dari salah seorang terdakwa. Sebaliknya, salah seorang terdakwa menyangkal secara telak barang-barang bukti yang ditunjukkan, kecuali hanya satu barang bukti yang diakuinya, yaitu selembar selendang hijau -warna yang melambangkan ikatan dengan Islam. Terdakwa bersangkutan men-jawab, selendang hijau yang ditunjukkan di depan persidangan sama sekali tidak pernah dipergunakan dalam demonstrasi, karena selendang yang ditunjukkan itu lebih besar daripada yang ia miliki.

Bab 02-05 Vonis Pengadilan
Berikut ini akan dipaparkan beberapa keputusan yang dimuat oleh sementara koran yang terbit disaat itu, menyangkut ke 28 terdakwa di atas.

Terdakwa yang divonis paling berat adalah Hendra Safri, 22 tahun, seorang mahasiswa AKUBANK. Hendra sama sekali tidak mengalami cedera karena memang dia tidak berada di tempat demonstrasi. Hal ini berbeda dengan terdakwa lainnya. Karena Hendra ditangkap di Suma-tera, bukan di Jakarta, pada tanggal 20 September. Ia menyatakan pada pengadilan pada tanggal 12 September, tengah bermain kartu dengan teman-temannya, berjarak 2 km dari lokasi terjadinya demonstrasi.

Beberapa teman Hendera membenarkan keterangan yang diberikan di muka persidangan itu, tetapi hakim sama sekali tidak memperdulikan kesaksian mereka. Dia dijatuhi hukuman paling lama, 3 tahun, sebab ia menceritakan kasus pembantaian Tanjung Priok dalam sebuah ceramah-nya, beberapa hari kemudian sehingga hal ini menjadi bahan tuduhan pokok dalam kasusnya. Selain itu ia adalah teman dekat Amir Biki. Jaksa menuntut dia hukuman 5 tahun, sementara yang bersangkutan menolak semua tuduhan yang dikenakan kepadanya.

Tiga orang tertuduh lainnya masing-masing dikenai hukuman 27 bulan, yaitu:
1. Nama : Muslih bin Marzuki.
Umur : 25 tahun
Pekerjaan : Buruh.
Siksaan : Diseret dan diinjak-injak dadanya oleh tentara.
Keterangan : Ia mencabut semua pengakuan yang dibuat dihada-pan penyidik. Terdakwa berkata: ”Sekiranya penun-tut tahu bagaimana pengakuan itu diberikan di depan penyidik, yang disertai penyiksaan di luar batas kemanusiaan, niscaya dengan pasti penuntut setuju atas pencabutan pengakuan kami”.

2. Nama : Marwoto.
Umur : 24 tahun
Pekerjaan : Buruh
Siksaan : Menderita luka-luka di kepalanya akibat terkena popor bedil.
Keterangan : “Saya memang menghadiri pertemuan, tapi tidak ikut demonstrasi. Saat itu ia tengah pulang ke ru-mah. Namun massa memaksanya ikut demonstrasi sehingga ia meninggalkan sepedanya. Ketika men-dengar letusan senjata yang muncul dari markas polisi, ia tiarap dan menyusupkan kepalanya ke sebuah lubang. Di pengadilan ia menceritakan bahwa tentara menerobos barisan orang banyak tanpa mengindahkan kerumunan orang yang berje-jer sepanjang jalan. Ia tidak berani meninggalkan tempatnya sampai ia ditangkap oleh polisi lalu dibawa ke kantor Koramil dan di sana dipukuli. Ia mencabut kembali pengakuannya di depan penyi-dik, dan ujarnya: ”Semua yang saya katakan di depan penyidik adalah diluar kesadaran. Militer tidak mengijinkan saya untuk membaca kembali keterangan yang diperoleh dari saya sebelum saya menandatanganinya”.

3. Nama : Thahir bin Sarwi.
Umur : 20 th.
Pekerjaan : Buruh
Siksaan : Terkena letusan peluru pada paha kiri dan telinga kanannya.
Keterangan : Dia datang dari Tegal ke Jakarta bertepatan dengan peristiwa pembantaian Tanjung Priok. Dia sama sekali tidak bermaksud ikut demo. Dia benar-benar pendatang baru di daerah ini, tapi dia terseret massa untuk datang ke pertemuan. Dia juga menarik kembali semua keterangannya di depan penyidik.

Tiga orang terdakwa lainnya, masing-masing dijatuhi hukuman 21 bulan, yaitu:
1. Nama : Dudung bin Supian
Umur : 25 tahun
Pekerjaan : Pedagang air keliling
Siksaan : Luka-luka pada lengan kanannya.
Keterangan : Dia pergi ke pengajian karena memang senang mengikuti pengajian. Ia mendengar salah seorang perceramah berkata:”Asas Tunggal menyebabkan kebingungan umat Islam”. Ketika pengajian bubar dia pulang ke rumah salah seorang temannya, tetapi massa yang ada di sampingnya berteriak “Allahu Akbar”, lalu dia bergabung. Dia mendengar letusan senjata dan kemudian dia terkena peluru nyasar. Orang-orang menolong dia untuk lari dari tempat kejadian dan dibawa ke rumah sakit dan opname selama 2 bulan. Sekeluar dari RS dia ditangkap. Hakim bertanya kepadanya,”Apa yang kamu bawa ketika pengajian, disaat mana ia mendengar tembakan?”. Jawabnya,”Rp 5000 Pak Hakim, tetapi uang itu hilang”.

2. Nama : Amir bin Bunari.
Umur : 19 tahun.
Pekerjaan : Pengangguran.
Keterangan : Dia mencabut pengakuannya di depan penyidik. “Dia turut hadir di pengajian dan hanya mendengar suara dari speaker. Dia bergabung dengan massa yang pergi ke kantor Koramil. Di tengah jalan dia mendengar rentetan suara bedil dan menyaksikan banyak orang menggelepar di tanah. Dia berusaha lari, tapi ternyata kena tembakan. Kemudian dia dilarikan oleh beberapa orang ke RS setempat. Dari sini dipindahkan ke RS militer untuk ditahan.

3. Nama : Armin bin Mawi
Umur : 20 tahun.
Keterangan : Dia mendengar suara pengajian dari kejauhan, kemudian ikut demonstrasi untuk membebaskan 4 orang yang ditahan. Dia berada di barisan terakhir dari massa yang berdemonstrasi, jadi tidak melihat apa-apa pada saat pertama kali dilepaskannya tem-bakan. Dia tidak tahu siapa yang menembak dan ke arah mana. Tetapi dengan tiba-tiba dia pingsan ketika perutnya ditembus peluru.

Bab 02-06 Tiga Orang Terdakwa Dijatuhi 18 Bulan Penjara
1. Nama : Wasjad bin Sukarma.
Umur : 32 tahun.
Siksaan : Kepalanya terkena peluru pada saat ia pulang ke rumah dari kerja.
Keterangan : Waktu dia baru pulang dari tempat kerja, ia tak bisa langsung pulang ke rumah, karena di tengah jalan berjubel massa. Sejenak ia mendengarkan omongan-omongan orang, kemudian menunggu kendaraan umum untuk pulang ke rumah. Saat melihat massa berjalan tiba-tiba dia mendengar suara tembakan, dan tahu-tahu kepalanya sudah berdarah. Ia roboh bersimbah darah. Dua orang membantunya mera-ngkak naik dari got, lalu dibawa dengan mobil ke RS. Selang beberapa hari kemudian, dia diciduk tentara dari RS untuk diintrogasi. Kemudian dima-sukkan ke sel Rumah tahanan (Rutan) militer Cimanggis.

2. Nama : Nasrun bin Sulaemanah.
Umur : 17 tahun.
Pekerjaan : Buruh
Siksaan : Tertembak di pantat.
Keterangan : Dia tidak ikut pengajian, tetapi tinggal di rumah main ping-pong. Selang beberapa lama, dia pergi ke mushalla yang berdekatan dengan rumahnya, lalu tidur disana. Dia terbangun saat mendengar orang-orang meneriakkan Allahu Akbar, lalu berdiri untuk menyaksikan apa yang tengah terjadi. Saat mendengar suara tembakan dia lari ke rumahnya. Sampai di rumah dia baru tahu pantatnya tertem-bak. Sedangkan sebuah pelor lagi bersarang di dalam perutnya. Lalu dibawa ke RS oleh ayahnya dan kemudian di tempat ini dia ditahan selama 3 bulan.

3. Nama : Suherman bin Surnata
Umur : 25 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa.
Siksaan : Tertembak pada lengan kirinya.
Keterangan : Dia ikut menghadiri pengajian dan bersama-sama para demonstran pergi ke kantor Koramil hendak mengunjungi 4 orang tahanan. Tetapi ternyata dia terkena tembakan ketika dia tiarap, kemudian dibawa ke RS setempat. Ditempat inilah dia diciduk oleh militer dan dipindahkan ke RS militer. Tatkala hakim bertanya untuk memperoleh penegasan pengakuan yang pertama-kali diberikan pada penyidik, jawabnya” Tidak tahu apa yang ditulis oleh penyidik dan dia diminta untuk menanda-tangani BAP tanpa boleh membacanya lebih dahulu”.

Bab 02-07 Tujuh Terdakwa Dihukum 10 Bulan
1. Nama : Damsirwan bin Nurdin.
Umur : 21 tahun
Keterangan : Tidak ikut pengajian dan tidak pula ikut demonstrasi. Saat itu dia keluar mencari dua orang sahabatnya. Tiba-tiba dia berada di tengah massa lalu mendengar rentetan tembakan, tetapi dia tetap berusaha men-cari temannya. Dia bertemu dengan seorang tak dikenal berjalan di sampingnya tiba-tiba dia tertem-bak dan roboh. Disepanjang jalan bergeletakan mayat-mayat. Dia didatangi seorang polisi dan me-nendang kepalanya dengan sepatu, dia dilarikan ke RS setempat dengan ambulance dan disinilah dia ketemu dengan teman yang dicarinya, yang juga luka-luka tertembak. Salah seorang temannya, pahanya terpaksa diamputasi untuk mengeluarkan peluru di dalamnya

2. Nama : Ita Sumirta bin Amin
Umur : 17 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Siksaan : Tertembak di pahanya.
Keterangan : Menyanggah seluruh pengakuan yang pernah di-berikan di depan penyidik. Katanya, ”Saya laku-kan semua itu karena dipaksa”. Saya memang menghadiri pengajian kemudian ikut dalam demonstrasi. Saat tembakan dilepaskan dia beru-saha lari tetapi ternyata kena juga. Teman-temannya membawanya ke RS Islam setempat dan dari sini dia diciduk dan dibawa ke RS militer.

3. Nama : Sardi bin Wage.
Umur : 18 tahun.
Pekerjaan : Buruh
Siksaan : Dadanya dipukuli beberapa orang tentara dan diper-lakukan dengan amat sadis.
Keterangan : Dia menghadiri pengajian dan ikut demonstrasi untuk menuntut pembebasan 4 orang yang ditahan. Ia menerangkan bagaimana perlakuan tentara yang telah memblokade semua jalan masuk di lokasi kejadian. Mereka melepaskan tembakan dia tiarap. Saat itu dia berharap memperoleh tempat sembunyi di parit. Namun pasukan polisi menyeret dan kemu-dian menahannya. Dia tidak ingat apa-apa tentang yang disampaikan di hadapan penyidik yang mengintrogasinya. Sebab dia disuruh menandata-ngani tanpa boleh membacanya.

4. Nama : Budi Santoso bin Suparto.
Umur : 18 tahun.
Pekerjaan : Penganggur.
Siksaan : Tertembak di punggung tembus ke dada.
Keterangan : Katanya,”Saya menghadiri pengajian dan demons-trasi”. Dia tiarap ketika mulai terdengar tembakan. Saat berdiri dan mau lari, tiba-tiba dia tertembak lalu dibawa orang ke RS setempat, dari sini dipindahkan ke RS militer.

5. Nama : April bin Mansur.
Umur : 16 tahun.
Pekerjaan : Pedagang keliling.
Siksaan : Dadanya diinjak-injak.
Keterangan : Dia tidak mendengar isi pengajian, karena pengeras suaranya gaduh. Tapi dia mendengar ajakan untuk membebaskan 4 orang tahanan. Semua keterangan dalam BAP dibantahnya karena dia menanda-tangani tanpa boleh membacanya lebih dahulu.

6. Nama : Sudarso bin Raise.
Umur : 16 tahun.
Pekerjaan : Pelajar.
Siksaan : Tertembak di lengan kanannya.
Keterangan : Dia menghadiri pengajian dan demonstrasi. Di pengadilan dia berkata bahwa peluru yang menem-bus lengannya masih bersarang di dalam. Dia men-ceritakan bagaimana dia berusaha menolong dua korban pembantaian yang luka parah, yang ternyata temannya sendiri. Hal itu ia lakukan setelah temba-kan berhenti. Kedua temannya dibawa ke RS menggunakan gerobak sampah.

7. Nama : Umar bin Sundu.
Umur : 18 tahun
Keterangan : Tidak ikut pengajian dan demonstrasi. Dia menya-nggah semua keterangan dalam BAP. Saat terjadi demonstrasi dia tengah dalam perjalanan pulang dan sedang berdiri di dekat lokasi untuk menanti bus. Tiba-tiba saja terdengar letusan senjata dan seorang yang berdiri di depannya roboh bersimbah darah. Segera ia ke masjid terdekat untuk mengam-bil keranda mayat, guna menolong korban bersama dengan beberapa orang lainnya. Baru saja memin-dahkan korban ke tempat yang agak aman, tiba-tiba datang tentara menyuruh untuk melemparkan korban. Saat itu dia tidak ditangkap, lalu dia pergi ke masjid untuk tiduran sebentar. Kemudian dia pulang namun di tengah jalan ia ditangkap.

Bab 02-08 Sebelas Terdakwa Duhukum 1 Tahun
1. Nama : Ferdinan M. Silalahi,
satu-satunya orang Kristen yang menjadi terdakwa.
Keterangan : Dia menghadiri pengajian bersama teman-teman-nya guna memperoleh pengetahuan lebih banyak tentang ajaran Islam. Ia menyatakan masuk Islam ketika berada di penjara. Dia ikut berdemonstrasi tapi lari saat mendengar rentetan bedil. Dia tidak terluka sedikitpun. Pada waktu menanti kendaraan umum untuk pulang ke rumah tiba-tiba dia ditang-kap.

2. Nama : Yusran bin Zaenuri.
Umur : 19 tahun.
Pekerjaan : Mahasiswa.
Siksaan : Salah seorang terdakwa yang termasuk paling parah lukanya. Dipukuli punggung, dada dan lengan kanannya. Di dalam tubuhnya masih bersarang sebuah peluru hingga saat dia dihadapkan ke persi-dangan. Kantor-kantor berita asing mengutip kesak-siannya agak terperinci.
Keterangan : Ia berkata:”Para demonstran sebenarnya sudah berhenti sewaktu mendapat perintah berhenti dari polisi. Fakta ini bertentangan sama sekali dengan keterangan Beny Murdani”. Katanya lagi,”Dia berada di barisan terdepan dalam demonstrasi dan menyaksikan seluruh peristiwanya dengan jelas”. Dia ceritakan secara detail adanya truk-truk militer dengan tergesa-gesa mengangkut mayat-mayat dan orang-orang yang luka ke RS. Kemudian dia dilem-parkan dan jatuh di atas timbunan mayat yang ada di atas truk. Ia tinggal di RS beberapa bulan tanpa diketahui keberadaannya oleh keluarganya. Keluar-ganya menyangka dia sudah meninggal, dan sudah diadakan kenduri/selamatan. Setelah memberi ke-saksian di pengadilan dia dibawa ke RS, setelah dibebaskan dari penjara menjadi saksi kasus Dar-sono. (Baca lampiran 1)

3. Nama : Misdi bin Sufian.
Umur : 16 tahun.
Pekerjaan : Pelajar SLTP.
Keterangan : Salah seorang korban yang diinjak-injak tentara. Keterangan lebih detail sama sekali tidak termuat di koran-koran, hanya dikatakan bahwa dia me-nyanggah semua keterangannya dalam BAP.

4. Nama : Amir Mahmud bin Dulkasan.
Umur : 17 tahun.
Pekerjaan : Pelajar.
Siksaan : Daun telinga kirinya sobek terkena peluru.
Keterangan : Kami tidak mendapatkan data-data lebih rinci tentang pledoinya di persidangan.

5. Nama : Ismail bin Abdul Hamid.
Umur : 16 tahun.
Pekerjaan : Pelajar.
Siksaan : Tertembak di punggung. Mengalami luka sangat parah di sekujur tubuh.
Keterangan : Ikut demonstrasi karena ingin membebaskan empat tahanan. Saat diangkut ke mobil militer, ia dipukuli habis-habisan oleh tentara, sehingga tiga tulang rusuknya patah. Paru-paru dan saluran pernafasan-nya mengalami penyumbatan lantaran luka-luka-nya.

6. Nama : Syafrizal bin Sufiyan.
Umur : 18 tahun.
Siksaan : Luka tembakan di bahu dan pipi kanan.
Keterangan : Kami tidak mempunyai data-data cukup tentang keterangannya di pengadilan selain hanya sangga-hannya terhadap semua keterangan di BAP.

7. Nama : Maksudi bin Irsad.
Umur : 22 tahun
Pekerjaan : Pedagang asongan.
Siksaan : Menderita luka-luka sangat parah. Tertembak di pantat tembus hingga selangkangan.
Keterangan : Dia termasuk orang yang menghadiri pengajian tapi berada di luar. Sambil duduk di kursi, menelon-jorkan kakinya dan menyentuh kursi lain. Ketika disidang, peluru masih bersarang di tempatnya. Penasehat hukum meminta agar persidangan diper-cepat dan peluru dikeluarkan dari tubuhnya. Tetapi permohonan ini ditolak. Ia selalu mengeluh, sebab hanya diberi pengobatan yang sangat tidak mema-dai, sedang kondisi tubuhnya dengan cepat merosot. Para wartawan yang mengikuti proses persidangan-nya menyaksikan bahwa anak ini setiap kali disida-ng tampak sangat ketakutan. Para pengunjung mengeluh tentang bau busuk yang keluar dari tubuh terdakwa setiap kali dia hadir di persidangan. Sebab lukanya sudah bernanah. Sehari-harinya dia bekerja sebagai pedagang pisang keliling dekat dengan tempat pengajian. Lalu ikut dalam demonstrasi seke-dar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika mendengar para demonstran bertakbir dia merasa ngeri dan ingin kabur, tapi keduluan tertembak. Lalu dia tersungkur dan pingsan. Di hadapan majelis hakim dia tidak mampu menjawab satu pun perta-nyaan yang diajukan kepadanya karena kondisi tubuhnya yang sudah tidak berdaya, sehingga pem-bela maupun jaksa tidak pernah mengajukan perta-nyaan kepadanya.

8. Nama : Cecep Basuki bin Wagi.
Umur : 16 tahun.
Pekerjaan : Pedagang asongan.
Siksaan : Dipukul dengan popor bedil sehingga dada dan kepalanya retak.
Keterangan : Sore itu dia hendak pergi ke bioskop untuk nonton tapi tak jadi, lalu dia makan-makan di warung. Selesai makan ada demonstrasi lalu ikut bergabung. Waktu meletus tembakan dia tiarap, tiba-tiba datang tentara memukulinya. Dia ditangkap setelah dirawat di RS selama 10 hari.

9. Nama : Asep Safruddin bin Suhendri.
Umur : 19 tahun
Siksaan : Tertembak di kepala.
Keterangan : Dia keluar untuk kepentingan orang tuanya dan tidak ikut menghadiri pengajian maupun demons-trasi. Ketika terdengar tembakan dia berlindung ke dalam gardu yang berdekatan. Tiba-tiba muncul panser tentara lalu kepalanya dipopor sehingga jatuh pingsan.

10.Nama : Iuscon bin Ilyas.
Umur : 18 tahun
Pekerjaan : Pelajar.
Siksaan : Tertembak di dadanya. Saat menoleh, dagunya ter-tembak lagi.
Keterangan : Di depan sidang ditunjukkan dua lobang di dada-nya. Peluru pertama bisa dikeluarkan ,tapi peluru kedua masih mengeram di dalam. Ujarnya, ”Dia ikut dalam pengajian dan demonstrasi. Kemudian dia berada di tengah-tengah massa yang hendak pergi ke kantor polisi tetapi tentara memblokir jalan dan meminta para demonstran bubar. Para demons-tran mau pergi tetapi komandan tentara melepaskan tembakan, dia menjadi korban pertama penemba-kan. Dia menyanggah bahwa ada diantara para demonstran membawa senjata.

11.Nama : Wahyudi bin Shaleh.
Umur : 21 tahun.
Siksaan : Tertembak pada tempurung lututnya.
Keterangan : Di persidangan terdakwa memperlihatkan tempu-rung lututnya yang koyak. Dia ikut demonstran dan berjalan di belakang orang yang menggunakan ikat kepala hijau. Ia menyaksikan para demonstran sudah mulai bubar ketika diperintah militer untuk membubarkan diri. Orang-orang ada yang duduk ketika polisi melepaskan tembakan tanpa alasan sehingga kerumunan orang dengan segera berlarian. Banyak orang tiarap dan dia sendiri tertembak saat berusaha bangkit dan lari. Ketika tentara mendekati orang-orang yang tiarap ia meminta bantuan seo-rang tentara, tapi menolak dan malah memukulinya. Ia berada di RS militer dua bulan, kemudian keluar dan ditangkap.

Bab 02-09 Kasus Selebaran Gelap
Keterangan resmi pemerintah mengenai kasus Tanjung Priok, sangat diragukan keabsahannya. Banyak orang yang menyanggahnya baik lisan maupun melalui penerbitan selebaran-selebaran untuk memaparkan fakta-fakta sebenarnya. Dari keterangan di persidangan dan beberapa berita koran yang memuat hal ini mengindikasikan bahwasanya selebaran gelap ini telah beredar dihampir seluruh penjuru tanah air. Selebaran ini ada yang terdiri hanya selembar, dan ada pula yang berlembar-lembar, berisikan keterangan saksi mata. Sebagian dari selebaran-selebaran ini sengaja disebarluaskan oleh para intel. Sesuai dengan hukum di Indonesia, bukanlah hal gampang memperoleh izin penerbitan, dengan alasan itu maka selebaran dianggap sebagai penerbitan illegal. Oleh karena itulah persidangan-persidangan kasus ini dikenal dengan peradilan selebaran gelap.

Berikut ini contoh-contoh kasus persidangan dimaksud.
1. Kusnoto bin Kasan, 32 th. Orang pertama yang dituduh membagi-bagikan selebaran gelap, dan dijatuhi hukuman 2 tahun penjara dan denda. Kesalahannya: Menerbitkan dan membagi-bagikan selebaran kepada halayak. Dia ditangkap sepuluh hari setelah peristiwa Tanjung Priok. Di mantelnya ditemukan selebaran gelap yang isinya membantah keterangan Beny Murdani. Di pengadilan, penasehat hukum menyatakan protes sebab dia ditangkap pihak Koramil yang berarti hal ini melawan hukum. Dia menyampaikan keluhan karena selama penyelidikan terus menerus disiksa.

2. Rusdianto Selamat, 22 th, mahasiswa sebuah PT di Yogyakarta. Dihukum 10 bulan, dipersalahkan karena membantu melakukan penga-cauan, dengan ikut membagi-bagikan selebaran dan mencetaknya. Dia telah memberikan selebaran kepada lima orang temannya. Sedangkan teman yang memberikan selebaran kepadanya hanya disebut inisialnya saja, dan dijatuhi hukuman sepuluh bulan juga.

3. Agus Sutaryo Kosib dan Ramli Zulkarnaen Lubis. Mereka men-dapatkan selebaran, membantu pencetakannya dan penyebarannya di kalangan jama’ah masjid. Masing-masing tertuduh diganjar 8 bulan penjara.

4. Syamsu haji Rauf dan Hizbullah Sidik Deadon, mahasiswa Univ. Sultan Harun. Keduanya dijatuhi hukuman, namun koran-koran nasional sedikit sekali yang memberitakan persidangannya. Keduanya dinyatakan bersalah karena menyebarkan selebaran gelap yang berjudul “Keterangan Singkat Kasus Tanjung Priok Berdarah”. Sesuai dengan pernyataan jaksa penuntut, bahwa kedua orang ini membacakan isi selebaran-selebaran tersebut pada sekelompok mahasiswa. Karena itu keduanya dijatuhi hukuman oleh pengadilan negeri Ternate dengan hukuman berat. Yang pertama dihukum 10 tahun, dan yang kedua 15 tahun penjara.

Masih ada para pengedar selebaran gelap lainnya, dan juga dijatuhi hukuman penjara, tapi kami tidak memiliki data-data cukup berkenaan dengan hal tersebut .

Sumber : Bencana Umat Islam di Indonesia tahun 1980-2000, Bab 02 Persidangan Kasus Tanjung Priok

Tokoh Dibalik Peristiwa Pembantaian Tanjung Priok

Para Pengamat Indonesia khususnya berpendapat, bahwa intel-intel militerlah yang menskenario dan merekayasa kasus pembantaian Tanjung Priok. Mereka mem-berikan isyarat adanya awal operasi yang dengan sengaja bertujuan untuk mengkategorikan kegi-atan-kegiatan ke-Islaman sebagai tindak kejahatan, dan para pelakunya dijadikan sasaran korban. Sebenarnya peristiwa ini sudah dipersiapkan sedemikian rupa untuk suatu ketika dapat diajukan ke pengadilan guna mela-wan berbagai kelompok yang mempunyai tujuan berbe-da, sebagaimana akan kami uraikan berikut ini.

Siapapun yang hendak mengamati kehidupan poli-tik di Indonesia sejak dasawarsa 60-an akan tahu bahwa operasi semacam ini dianggap sebagai contoh dari ope-rasi-operasi khusus yang dilakukan intelijen. Ciri dari-pada operasi ini adalah, sulitnya diketahui secara jelas keterlibatan intelijen militer di dalamnya. Selain itu tidak mungkin memperdebatkan secara terbuka hal semacam ini dalam suasana Indonesia yang represif.

Lima belas tahun pertama dari pemerintahan Soe-harto, orang yang mengendalikan operasi-operasi intel-jen adalah Jendral Ali Murtopo. Dia memiliki badan intel-jen khusus dan melakukan operasi politik khusus yang disebut dengan opsus. Opsus ini didirikan pada awal dasawarsa 60-an dimasa pemerintahan Soekarno, dan kemudian menjadi kaki tangan Soeharto sejak dia men-jadi panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat). Operasi penting yang dilakukan opsus sebelum Soeharto naik ke tampuk kekuasaan ialah melakukan pembicaraan-pembicaraan rahasia dengan pemerintah Malaysia. Oleh karena itu telah muncul keraguan dalam front politik yang dijalankan oleh Soekarno dan pemerintahannya. Pada tahun 1969 mereka melakukan operasi rekayasa yang disebut dengan “Hak menentukan Nasib Sendiri”.

Operasi ini dianggap legal yang dilakukan Indonesia terhadap Irian Barat. Kemudian berlanjut dalam operasi pemilu tahun 1971 dan 1977 sehingga Golkar memperoleh kemenangan luar biasa. Kapten Beny Murdani pada waktu itu merupakan salah seorang pembantu inteljen Ali Murtopo (opsus). Beny Murdani berpangkat Kapten tahun 1963 kemudian menjadi jendral berbintang 4 dan Pangab Indonesia. Beny Murdani melakukan operasi inteljen di bawah bendera opsus menjalankan tugasnya pertama-kali bermarkas di Bangkok, agar dapat melakukan pembicaraan-pembicara-an rahasia dengan Malaysia secara baik yang terjadi pada th 1964.

KOMANDO JIHAD: Ketika tentara selamat dari ancaman Komu-nis secara gemilang, kemudian dari gerakan kiri pada akhir dasawarsa 60-an, maka badan inteljen militer ini menjadikan umat Islam sebagai sasaran utamanya. Operasi pentingnya pertama kali dilakukan menjelang pemilu 1977, ketika PPP masih merupakan kelompok oposan terhadap pemerintah dan memberikan kesan bahwa Islam merupakan kekuatan teroris karena adanya tuduhan bahwa sejumlah aktivis merupakan anggota-anggota Komando Jihad. Kami ingin menyatakan disini bahwa Komando Jihad ini adalah rekayasa Ali Murtopo untuk mengacaukan kaum muslimin.

Seorang wartawan Australia memperoleh informasi dari berbagai sumber yang menyatakan: ”Pimpinan Komando Jihad tidak lain adalah tokoh-tokoh gerakan Darul Islam pada dasawarsa 50-an yang tertangkap, kemudian mereka dibebaskan, lalu diajak bekerjasama oleh Ali Murtopo, setelah mereka ini dijebloskan ke dalam tahanan”. Salah seorang tokoh mereka ini adalah Haji Ismail Pranoto. Pada tahun 1978 dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dengan tuduhan mendirikan Komando Jihad di berbagai tempat di wilayah Jawa Timur.

Para tertuduh di dalam kasus ini semua menyangkal. Mereka menya-takan, bahwa mereka melakukan operasi-operasi melawan komunis bekerjasama dengan militer. Mereka meminta kepada Jendral Ali Murtopo untuk memberikan kesaksian di pengadilan tapi ternyata pengadilan menolak permohonan ini.

Abdurrahman Wahid, pimpinan NU mengakui bahwa Komando Jihad ini adalah rekayasa dari badan inteljen militer. Ketika dia ditanya,”Apakah organisasi ini masih ada di Indonesia?”. Jawabnya,”Sekarang sudah tidak ada. Adapun gerakan itu dimasa lalu, tanyakanlah hal itu kepada Kopkamtib, tetapi (Jihad itu sendiri) sejalan dengan ajaran Islam”. Komando Jihad adalah gerakan yang direkayasa oleh orang-orang yang menginginkan hancurnya gerakan Islam.

PEMBAJAKAN WOYLA: Operasi penting yang kedua melawan kaum muslimin terjadi pada awal tahun 1982, beberapa waktu sebelum dilaksanakannya Pemilu. Sekelompok orang-orang Islam dituduh mem-bajak pesawat garuda yang melakukan penerbangan dalam negeri. Gerakan ini dituduh menyerbu kantor polisi Cicendo, Jawa Barat.

Dalam persidangan, Imran Bin Muhammad Zein, pemimpin gerakan ini, bermaksud untuk memeriksa peranan Najamuddin komandan sayap tentaranya yang dicurigai sebagai anggota inteljen militer. Para anggota gerakan ini yakin bahwa Najamuddin lah yang memanas-manasi mereka untuk menyerbu kantor polisi dan melakukan pembajakan pesawat. Najamuddin ini kemudian dibunuh oleh anggota dari gerakan ini. Ketika mereka mengeluh tentang berbagai sepak terjangnya. Dalam persidangan, Jaksa penuntut selalu mementahkan segala bentuk usaha untuk mengorek identitas orang ini. Tidak ada orang yang dijatuhi hukuman berkenaan dengan kasus pembunuhan Najamuddin. Sebab persidangan semacam ini hanya akan menimbulkan kesulitan lebih besar pada pemerintah. Pengadilan yang menangani kasus Imran menolak untuk melakukan penyelidikan tentang terjadinya pembunuhan terhadap 6 orang pemba-jak pesawat dan tidak membenarkan para penumpang maupun awak pesawat untuk memberikan kesaksiannya. Abdurrahman Shaleh, SH pembela Imran dalam persidangan mengatakan,”Apakah benar tertuduh ini teroris?. Tidakkah orang semacam dia dipandang sebagai pemuda muslim yang terjerat di dalam rekayasa?”

Bab 03-01 Persidangan Kasus Letjen HR Dharsono
Berita-berita kasus Tanjung Priok dilakukan oleh sejumlah besar orang. Masyarakat bertanya-tanya, mengapa militer tidak menggunakan kekua-tan seminimal mungkin dalam menghadapi demonstrasi? Mengapa mereka tidak menggunakan saja gas air mata untuk membubarkan kum-pulan massa yang marah? Mengapa tentara tidak menyampaikan peringatan sebelum melepaskan tembakan? Ketika tentara melepaskan tembakan, mengapa langsung diarahkan pada para demonstran, bukan mengarahkan ke atas atau tembakan ke bawah? Jika benar pengakuan militer, bahwa sebagian demonstran membawa senjata pisau dan pentu-ngan (hal yang tak dapat dibuktikan di dalam persidangan) masih banyak cara-cara lain yang tepat untuk menghentikan para demonstran dan menguasai tempat-tempat gejolak.

Sebagaian masyarakat bertanya-tanya, mengapa petugas keamanan setempat tidak diterjunkan untuk melerai perselisihan yang dengan tiba-tiba berubah menjadi krisis membara? Seorang mantan Jendral, Suhar-diman mengatakan: ”Seharusnya jauh sebelumnya militer melakukan tindakan antisipasi untuk mencegah letupan. Karena membiarkan hal semacam itu berarti mentolerir aktivitas gerakan tersebut untuk terus berjalan, sehingga bisa membangkitkan kemarahan dan merusak keamanan nasional”.

Dalam persidangan kasus mantan jend. HR. Dharsono secara maksimal ia berusaha untuk mengetengah peran militer di dalam peris-tiwa yang mengakibatkan pembantaian pada malam Rabu, 12 September 1984. Ketika pertama kali terjadi peristiwa pada awal Oktober 65 dan kemudian menjadikan Soeharto berkuasa, Dharsono adalah pangli-ma militer di Jabar, devisi Siliwangi. Ia mendampingi Soeharto di dalam usaha menjatuhkan Pres. Soekarno. Pada bulan-bulan terakhir tahun 65 ia bersama beberapa jend. lain yang anti komunis, seperti Kamal Idris dan Sarwo Edi menghancurkan gerakan kiri di basis-basisnya yang kuat di seluruh penjuru pulau Jawa. Kemudian muncul perselisihan di kala-ngan pendukung orba dan Soeharto mengenai masalah pembangunan sistem politik pemerintahan. Dharsono menjadi sasaran kemarahan Soeharto karena dia berseberangan dengan politik Soeharto. Pada awal 69 Dharsono dipecat dari jabatan militernya kemudian diangkat sebagai duta besar di Bangkok dan Phnom Phen. Pada tahun 76 dia diangkat sebagai sekjen. ASEAN. Tetapi pada tahun 78, pada saat dewan maha-siswa menggugat politik Soeharto Dharsono menyatakan dukungannya secara terbuka. Hal ini menyebabkan dirinya di copot dari kedudukan sekjen ASEAN dan dengan cepat dia bergabung dengan mantan perwira yang bersikap kritis terhadap kebijakan rezim militer Soeharto. Terdapat sejumlah kecil perwira, termasuk Dharsono, dahulunya menyatakan sikap anti Demokrasi ketika mereka sedang menjabat. Tetapi sekarang para mantan perwira ini mengumandangkan demokrasi dan mengeritik kebijakan Soeharto yang zalim dalam menjalankan pemerintahan.

Meskipun Dharsono dahulunya tidak termasuk penandatangan Petisi 50, namun dia bergerak di lingkungan oposan. Ia biasa menghadiri pertemuan-pertemuan mereka secara teratur di rumah Ali Sadikin, mantan Panglima marinir dan Gubernur DKI. Dharsono turut menanda-tangani Lembaran Putih yang diterbitkan setelah terjadinya pembantaian Tanjung Priok. Ia juga menghadiri pertemuan yang diadakan pada tanggal 18 September di sebuah mushalla yang berdampingan dengan rumah AM. Fatwa, yang juga ikut menandatangani lembaran putih tersebut. Pertemuan ini sudah dirancang beberapa minggu sebelumnya. Tetapi karena muncul kasus Priok, maka akhirnya masalah ini menjadi pokok diskusi. Dharsono ditangkap pada tanggal 8 November 1984 dan diajukan persidangan pada tanggal 19 Agustus 1985. Dia diadili berdasarkan undang-undang suvbersi karena menandatangani lembaran putih. Dia dituduh menghasut peserta rapat yang diadakan 18 September untuk melakukan pengeboman yang kemudian terjadi beberapa minggu kemudian.

Bab 03-02 Serangan Tim Pembela
HR. Dharsono dan tim pembelanya bertekad untuk langsung melakukan serangan dan menggunakan ruangan pengadilan sebagai alat penekan guna mengungkap kejadian sebenarnya kasus Tanjung Priok; sejalan dengan tuntutan pokok yang telah dinyatakan di dalam lembaran putih agar dilakukan penyelidikan tentang kasus tersebut. Tim pembela hukum Dharsono ditangani oleh lima orang anggota LBH: Adnan Buyung Nasution, pengacara paling terkenal di Indonesia. 2. Mulya Lubis, ketua LBH. 3. Harjono Tjitrosubeno, ketua IKADIN. 4. Amartiwi Shaleh, 5. Luhut MP. Pangaribuan. Tim ini merupakan kumpulan pengacara top. Para pengacara menghadirkan dua orang korban pembantaian Tanjung Priok sebagai saksi kunci dalam pembelaannya. Mereka minta kepada dua orang saksi ini untuk bercerita di hadapan persidangan tentang apa yang terjadi. Kedua saksi ini masih dalam keadaan luka parah. Orang pertama bernama Yusron bin Zaenuri, ia telah divonis dengan hukuman 1 tahun. Sebab ia termasuk dalam 28 orang korban Tanjung Priok yang telah disidangkannya tahun yang lalu. Dia terkena tembakan tiga kali. Sekali dia ditembak oleh tentara ketika dia roboh dalam keadaan terte-lungkup dan lukanya terus mengeluar darah serta dibiarkan begitu saja oleh tentara menanti ajal tiba. Kemudian menceritakan perlakuan tentara kepadanya saat mereka melemparkannya ke atas truk militer yang sudah berisi tumpukan jasad korban (ada yang hidup dan ada yang nati) untuk dibawa ke RS militer (Lihat Lampiran I).

Saksi kedua bernama Edi Nurhadi, yang menyatakan bahwa saat itu ia sedang makan di warung pada waktu demonstrasi terjadi. Tiba-tiba pahanya tertembak karena itu dia terpaksa membalut lukanya (Baca Lampiran II). Kedua saksi ini secara detail menceritakan kebrutalan petugas keamanan. Keduanya dengan meyakinkan memberikan ketera-ngan di depan persidangan bahwa petugas keamanan memberondong sasarannya dengan darah dingin tanpa perasaan sedikitpun.

Jaksa Penuntut umum menjawab kesaksian ini dan memanggil Kapten Sriyanto, komandan operasi dan juga komandan koramil setem-pat, dialah komandan yang bertanggung jawab di lingkungan militer dan memberikan perintah kepada anak buahnya untuk melepaskan tembakan. Ia menjawab:” Ketika itu anak buahnya berada dalam anca-man para demonstran bersenjata, dia menolak untuk menghentikan demonstrasinya. Media massa menulis bahwa pembelaan jawaban saksi Sriyanto menimbulkan suasana tegang dalam persidangan, sehingga para pembela terdakwa menekan yang bersangkutan untuk menjelaskan alasannya mengapa dia tidak mengundang polisi saja, padahal kantor polisi sangat dekan dengan lokasi kejadian. Mengapa dia tidak menggu-nakan gas air mata atau menggunakan cara lain untuk membubarkan demonstrasi. Saksi menjawab “Tidak ada waktu untuk memikirkan sesuatu seperti itu. Tidak ada hal yang menarik dalam dalam keterangan saksi ini.

Sebab, kata demi kata yang dia ucapkan semuanya persis dengan keterangan Beny Murdani, tetapi sesuatu yang berkesan dan sangat mena-rik tim pembela ialah penolakan Sriyanto untuk menjawab pertanyaan khusus sekitar kejadian-kejadian demonstrasi pada hari itu. Ujarnya,” Hal-hal semacam itu seyogyanya ditanyakan kepada kapten Mukiran, perwira intel. Tegasnya jaksa penuntut meminta kepadanya untuk memberikan kesaksian masalah demonstrasi saja. dia tidak dapat menjelaskan apa-apa tentang peristiwa yang terjadi sebelum jam 23.00 ketika dia menerima telpon dari Amir Biki agar 4 orang tahanan dibebaskan.

Tim pembela sekali lagi mendesak majelis hakim supaya mengha-dirkan perwira militer lainnya untuk memberikan kesaksian. Tim pembela ingin menanyakan pada Kapten Mukiran, perwira intel yang disebut oleh Sriyanto dan Kapolres Jakarta Utara Kol. Ismet. Majelis hakim setuju untuk mendengar kesaksian Kol. Ismet tapi majelis hakim memutuskan tidak memanggil Kapten Mukiran, namun ada perwira intel lain yang kemudian dipanggil untuk memberikan kesaksian, yaitu Kol. Butarbutar.

Munculnya Butarbutar di persidangan menimbulkan perdebatan panas antara pembela dan saksi. Dharsono dengan keras menyerang bahwa tentara itu dipersiapkan untuk berperang bukan untuk bertindak terhadap demonstran di jalan-jalan. Ketika Adnan Buyung Nasution bertanya:Mengapa dia tidak memanggil polisi?”. Jawabnya,”Tidak ada waktu untuk dapat menggunakan saranan-sarana yang dapat dipakai pada saat-saat seperti itu. Karena itu kami, tim pembela tidak merasa heran bilamana kesaksian Butarbutar tidak dapat mengungkap dengan jelas kejadian Tanjung Priok itu. Tidak munculnya Ismet, kapolres Jakut tidaklah banyak menimbulkan beda pendapat bahwa hal tersebut dimaksudkan untuk menghalang-halangi mengungkap rahasia langkah-langkah yang diambil oleh pihak keamanan dalam mengahadapi para demonstran. Kol. Ismet 3 kali tidak pernah mau mendatangi persidangan. Panggilan pertama, dia tidak datang karena minta izin. Pada persidangan kedua dia tidak datang, katanya sakit. Pada persidangan ke 3 , 4 November. Dia tidak datang karena bertugas ke Bandung. Oleh karena itulah tim pembela dengan segala upayanya untuk mengetahui alamatnya. beberapa temannya mengatakan, bahwa dia sedang mengikuti tugas belajar di Bandung. Ternyata kemudian diketahu bahwa nama Ismet ini tidak tercantum dalam peserta pendidikan. Karena itulah Buyung Nasution berkesimpu bahwa Ismet dengan sengaja melarikan diri dari memberikan kesaksian di depan persidangan. Adapun Dharsono berkata kepada majelis hakim,”Tidak hadirnya saksi ini dengan berbagaimacam alasannya secara logika membuktikan bahwa kasus-kasus Tanjung Priok akibat kekuatan luar yang melakukan provokasi.

Dalam jumpa pers dengan surat kabar Belanda Buyung Nasution mengungkapkan bahwa,”Tim pembela mempunyai alasan-alasan untuk berkeyakinan bahwa Ismet, Kapolres Jakarta Utara telah menyampaikan saran kepada militer di Tanjung Priok bahwa memang perlu mencegah terjadinya demonstrasi dalam bentuk apapun. Ia mengingatkan militer bahwa kondisi di daerah ini benar-benar panas. Buyung mengungkapkan bahwa sebelum diadakan sidang pengadilan 4 Desember, ketua penga-dilan bernama Sudiyono membisikkan kepadanya untuk tidak terus menerus menuntut dihadirkannya saksi Ismet. Sebab hal itu dapat menim-bulkan kesulitan tersendiri bagi persidangan ini. Buyung Nasution kemudian diberitahu oleh Sudiyono bahwa Ismet telah dipindahkan ke Sumatera Utara dan menyatakan tidak sanggup untuk menghadirkan yang bersangkutan di persidangan.

Bukan hanya ketidakhadiran Ismet saja yang menimbulkan keraguan bahkan Dharsono sudah mencium adanya kegagalan pihak aparat kea-manan untuk menangkap dua orang yang mengadakan pertemuan temuan Tanjung Priok tanggal 12 September. Baik Syarifin Maloko mau-pun Muhammad Nasir dan Amir Biki yang telah terbunuh adalah orang-orang yang membantu membangkitkan emosi pengunjung penga-jian. Aparat keamanan telah menangkap muballigh lain tetapi mengapa tidak menangkap Syarifin Maloko dan Nasir? Mengapa orang-orang ini tidak hadir walaupun hanya untuk kesaksiannya di persidangan? Dhar-sono juga mempertanyakan kasus yang menimpa Hamzah Hariyana yang hadir dalam perngajian 18 September padahal dia termasuk pence-ramah yang paling menonjol. Orang inilah yang meminta kepada Dhar-sono agar membantu kelompok mereka memperoleh bom guna melaku-kan aksi-aksi teroris.

Bab 03-03 Penangkapan Syarifin Maloko
Syarifin Maloko ditangkap 6 bulan setelah Dharsono mengajukan tanta-ngannya kepada pengadilan. Sebelumnya, semua persidangan kasus Priok tidak pernah berhasil mengungkapkan masalah ini, yaitu tim pembela tidak pernah berhasil untuk mengajukan pertanyaan-pertanya-an kepada orang ini. Ketika Syarifin Maloko dinyatakan akan diadili, dia meminta bantuan kepada LBH untuk membela dirinya, tetapi LBH menolak dengan alasan para pengacaranya sedang sibuk sehingga tidak dapat membantu memberikan pembelaan dalam kasus-kasus baru pada saat itu. tetapi Adnan Buyung Nasution lebih terus terang alasannya dalam menolak permintaan tersebut .

Adnan Buyung Nasution dikenal sebagai Direktur lembaga ini dan koordinator tim pembela dalam kasus-kasus subversi. Para pembela mera-gukan apakah Maloko benar-benar berjuang untuk idiologi. LBH menga-takan bahwa kami membela setiap orang tanpa memperdulikan idiologi politiknya, tidak perduli apakah orang itu pejuang politik Islam atau pengikut idiologi komunis. Kami selalu siap membela dengan penuh keberanian. Tapi kalau ada orang yang tak dikenal bagaimana prinsipnya dalam perjuangan, lebih baik bagi kami untuk tidak melakukan pembelaan sia-sia.

Sejumlah anggota tim menemui Maloko setelah dia ditahan, tetapi Buyung Nasution tidak puas dengan alasan-alasan yang dikemukakan oleh M aloko, seperti yang tertulis dalam surat yang dikirimkannya kepada surat-surat kabar. Ujarnya, ”Kami tidak ragu-ragu tentang masalah Sya-rifin Maloko, namun persidangan kasus Tanjung Priok sudah lewat. Begitu pula persidangan kasus Dharsono, Am. Fatwa dll. Pada waktu itu adakah Maloko bersedia mengajukan pembelaan karena prinsip-prinsip idiologinya untuk membela masyarakat Islam atau setidak-tidak-nya mau melakukan kontak dengan tim pembela, dimana Adnan Buyung Nasution termasuk di dalamnya, yang pada waktu itu sangat memerlu-kan kesaksian Maloko. Dia menyadari hal itu dengan baik, tapi mengapa dia tidak mau berbuat?

Sebuah oraganisasi muballigh juga bermaksud untuk menyanggah pengakuan Maloko bahwa dia termasuk salah seorang anggotanya. Wakil sekretaris dari organisasi ini berkirim surat pada media massa menolak dengan keras adanya anggapan bahwa Maloko adalah salah seorang dari anggotanya.

Tersiar issu bahwa Maloko bekerja untuk kepentingan intelijen militer. Issu-issu ini sangat kencang beredar sehingga hal ini menjadi masalah yang sangat dominan dalam persidangan. Maloko meminta dihadirkan-nya tiga orang saksi untuk menyampaikan kesaksian. Orang-orang ini semuanya dari korp muballigh. Ketiga orang ini telah dipenjarakan. AM. Fatwa dan Abdul Qadir Djaelani tengah menjalani masa hukumannya. Sedangkan orang ketiga bernama Hasan Kiat, yang tengah disidangkan kasusnya dengan tuduhan turut menyampaikan ceramah di Tanjung Priok pada tahun 1985. Majelis hakim ternyata tidak mengabulkan per-mintaan agar Fatwa dan Djaelani menyampaikan kesaksian, karena mereka ini hanya ahli agama, bukan ahli di dalam masalah subversi. tetapi majelis hakim mengijinkan Hasan Kiat menjadi saksi. Di dalam persidangan dia menyangkal adanya anggapan bahwa Maloko adalah mata-mata pemerintah. Padahal sebelumnya ia mengakui hal tersebut sebelum terjadinya kasus Tanjung Priok. Dia meragukan Hasan Kiat dan dua orang tersebut tadi mempunyai hubungan yang bertujaun untuk memata-matai para penceramah Tanjung Priok. Ketika Maloko berbicara dengan Kiat di dalam penjara, dia meyakinkan kepadanya bahwa dirinya sebagai intel itu hanyalah semata-mata issu.

Bab 03-04 Persidangan Kelompok Penentang Pemerintah
Jenderal Beny Murdani sangat marah ketika koran-koran nasional dan internasional mengungkapkan bahwa persidangan kasus Dharsono tidak boleh diberitakan. Sekalipun Murdani dengan segala macam upaya meng-halangi pengusutan fakta-fakta, namun muncul banyak sekali statmen-statmen yang meragukan atas ketidak terlibatannya di dalam kasus-kasus ini. Persidangan-persidangan ini merasakan adanya hal-hal yang emosio-nal di dalam kasus Tanjung Priok. Persidangan ini telah berubah menjadi demonstarsi melawan pemerintah. Para hakim yang menangani persida-ngan di waktu itu dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas munculnya keadaan tersebut. Oleh karena itu ada orang yang dijadikan sebagai kambing hitam, yaitu ketua pengadilan setempat bernama Sudiyono. Ia dipindahkan ke Sumatera Utara begitu selesai penanganan Maloko. selanjutnya yang dijadikan kambing hitam adalah Adnan Buyung Nasution yang dituduh sebagai orang yang melakukan penghi-naan terhadap pengadilan (Contempt of Court) sebab dia menolak membacakan pembelaannya di persidangan. (Baca bab 4)

Pihak lain yang dikambing hitamkan adalah mass media, yang oleh Beny Murdani dituduh sebagai tidak bertanggung jawab dan tidak dewasa di dalam menyaring berita-berita menyangkut hal-hal yang terjadi di persidangan. Beny mengancam dengan keras mass media, jika tidak mampu membenahi dirinya sendiri.

Berkat kegigihan tim pembela, akhirnya semua peristiwa yang muncul di ruang persidangan menghasilkan usaha dilakukannya penyelidikan menyeluruh terhadap kasus-kasus Tanjung Priok. Hal ini merupakan tuntutan yang dimuat di dalam lembaran putih, namun masih sangat banyak pertanyaan-pertanyaan tim pembela berkenaan dengan korban peristiwa ini yang belum pernah terjawab hingga sekarang.

Sumber : Bencana Umat Islam di Indonesia tahun 1980-2000, Bab 03 Tokoh Dibalik Peristiwa Pembantaian Tj Priok